11.59

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (selanjutnya dalam artikel akan disingkat CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.

CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.










wujudkan cita-citanya
11.28

Banjir Karawang

`Karawang, Lumbung Padi Nasional

Banjir Karawang, bukan hanya permasalahan yang diakibatkan oleh tingginya curah hujan di Wilayah Bandung dan sekitarnya yang menyebabkan air Sungai Citarum meluap, tetapi lebih dari itu mencangkup permasalahan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dari hulu hingga hilir yang mengalami kerusakan lingkungan teramat parah. Dahulunya sepanjang DAS Citarum adalah hutan, namun kini berlaih fungsi menjadi lahan pertanian semusim.

Banjir di lahan pertanian



Sungai Citarum dari dekat

Kalangan petani di hulu Citarum enggan mengganti sayuran dengan tanaman kayu keras, alasannya tanaman sayuran hasilnya lebih menggiurkan. Mereka bisa panen 35 ton kentang dalam sekian hektar lahan, Ini jauh lebih besar dari pada bertanam di daerah hilir yang hanya 20 ton. Kenyataan ini diperparah dengan penanaman yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi. Tanaman sayur ditanam pada kemiringan 45 derajat, dan tanpa sengkedan maka ketika hujan turun, tanahpun tergerus dan langsung terbawa air masuk ke dalam sungai, akibatnya terjadi pendangkalan yang menyebabkan mudah meluap ketika hujan deras datang karena daya tampungnya mengecil. Tidak butuh berkilo-kilometer dari hulu untuk melihat kerusakan Citarum, dari jarak 500 meter dari sumber mata air, di Desa Tarumajaya Kabupaten Bandung, Sungai Ciatrum yang bening sudah berubah menjadi hijau akibat limbah kotoran sapi dari peternakan warga. Sekitar 2 kilometer sudah berubah menjadi coklat keruh karena erosi ladang sayur di perbukitan. 25 Kilometer dari hulu air sudah berubah menjadi dua warna, disatu sisi berwarna coklat hasil erosi, dan disisi yang lain berubah kehitaman karena limbah pembuangan pabrik tekstil. (Kompas, 29 Maret 2010).




Lalu, mereka yang tinggal di hilir DAS Citarum hidup dalam kepungan banjir. Banjir yang membawa muatan lumpur dan sampah itu tiba di hilir sampai ke Daerah Karawang yang menggenangi ribuan hektar sawah dan puluhan ribu rumah. Menurut Pak Daipin, Ketua Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI), untuk Wilayah Karawang, sebanyak 1300 hektar sawah rusak terendam banjir, padahal banyak diantaranya yang siap panen. Karawang adalah penghasil beras Aromaterapik, Pandan Wangi, dan Rojolele yang terkenal dengan kwalitas berasnya yang pulen.



Lokasi sawah yang terndam banjir antara lain di Kecamatan Pakisjaya. Dalam perjalanan kesana, sepanjang perjalanan pemandangannya sangat indah.. sawah hijau di kiri kanan jalan, bahkan ada yang mulai menguning dan sebagian ada yang sedang di panen. Benar kalau dikatakan bahwa Karawang adalah salah satu wilayah lumbung padi nasional. Karena kurang lebih 93.000 hektar wilayahnya adalah lahan pertanian padi.




Namun tak jauh dari sana, kendaraan kami diminta untuk berhenti di Kecamatan Pakis Jaya. Tibalah kami di wilayah banjir. Sejauh mata memandang hanya genangan air kecoklatan yang tampak.. Sawah hijau yang mulai menguning pun tak tampak. Pemandangan yang kontras dari yang dilihat sebelumnya. Genangan bajir itu meliputi dua dusun, yakni Tenjo Jaya dan Tanggul Jaya. Dari sana menuju ke Telukbuyung, salah satu pemukiman penduduk yang pada saat banjir melanda, ketinggian air hingga ke atap rumah. Tampak-tenda-tenda masih berdiri di pinggir tanggul. Truk PMI juga tampak di tepi jalan, juga sebuah tempat penampungan air bersih dengan keran-keran. Sudah lebih dari sepekan banjir melanda kawasan ini, air sudah surut, yang tampak adalah lumpur dan bau busuk menyengat. Sebagian penduduk masih tinggal di penampungan. Kembali ke Sungai Citarum, mungkinkah banjir Citarum dapat teratasi? Tampaknya sulit. Perlu ketegasan pemerintah untuk memulihkan DAS Citarum. Mengutip pernyataan Kompas, “Jika kerusakan tak kunjung diperbaiki, inilah kiamat sebelum waktunya !”


Sungai Citarum, riwayatmu kini...

Citarum, terkikis tepinya akibat penggalian pasir (foto dari internet)

“Air mengalir sampai jauh.., akhirnya ke laut” begitulah penggalan lagu Bengawan Solo karya Gesang. Tapi ini bukan di Solo, melainkan Karawang, yang dilintasi oleh Sungai Citarum, yang hulunya terletak di wilayah Bandung. Karena banyaknya debit air yang dilaui sungai ini, maka dibangunlah 3 waduk untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), yakni Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur Purwakarta lalu sungai mengalir ke Wilayah Karawang dan dimanfaatkan untuk air minum serta irigasi sawah di Subang,Bekasi dan Karawang hingga bermuara di Karawang, Pantai utara Laut Jawa.

Bila Citarum bisa berkisah, mungkin terlalu banyak riwayat yang harus diceritakan. Sungai merupakan nadi kehidupan, dimanapun dia berada, begitu juga Sungai Citarum. Dahulu pada masa kerajaan nusantara, Sungai Citarum sangat dimuliakan oleh para penduduknya. Kerajaan Tarumanegara, tahun 419 Masehi saat itu dipimpin oleh Raja Purnawarwarman yang sangat memperhatikan kondisi sungai di negerinya, termasuk Sungai Citarum. Kala itu, sungai ini menjadi sarana transportasi utama, juga menyediakan ikan. Sehingga sangat dijaga, baik oleh raja maupun rakyatnya. (Buku Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar).

Eratnya kaitan antara daerah hilir Sungai Citarum dengan Kerajaan Tarumanegara telihat dari sejumlah prasasti berasal dari abad ke 4. di Wilayah Karawang, di Situs Batujaya dan Situs Cibuaya yang menunjukkan pernah adanya aktivitas permukiman kebudayaan pra-Hindu sejak abad ke-1 Masehi di bagian hilir sungai.


Banjir (foto dari internet)

Namun, seabad kemudian Sungai Citarum berubah, dari fungsinya sebagai nadi kehidupan, kini menjadi bencana kehidupan akibat parahnya kerusakan di lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Kerusakan yang diakibatkan “tangan-tangan manusia” itu terlihat mulai dari hulu hingga hilir. Berbagai limbah dan tumpukan sampah tumpah disana, juga pendangkalan akibat abrasi. Kerusakan itu mnyebabkan banjir yang tak terelakkan. Menggenangi tidak saja perumahan, sawah, ladang, tambak, pabrik, sekolah dan lain-lain. Ini sebuah musibah. Musibah yang datang akbibat kelalaian manusia.
Ada 5 titik lokasi yang harus dibantu, yakni Karaba di Teluk Jambe, Teluk Buyung, Segaran, dan dua buah sekolah dasar di wilayah Batujaya.

Namun karena wilayah yang akan dikunjungi cukup jauh, dan jalannya sempit, licin dan rusak (bahkan waktu banjir sempat terisolir), maka disarankan untuk mengganti mobil box untuk barang dengan mobil bak terbuka yang lebih kecil untuk membawa paket bantuan. wilayah yang kami datangi cukup membuat hati takut, karena harus menelusuri tepi Sungai Citarum, sedangkan jalan yang ditempuh sempit, sebagian masih tanah dan cenderung becek karena bekas banjir. Dibeberapa bagian bahkan ada yang longsor. Seperti ikut off-road, kendaraan pick up untuk membawa paket bantuan selip, sehingga harus diangkat beramai-ramai, sempat berpikir kalau tanahnya amblas bisa-bisa tergelincir ke sungai..


Rumah penduduk di Dusun Segaran, Kecamatan Batujaya

Rasanya ingin membuat taman bacaan untuk anak-anak disana. Rumah ketua RT cukup memungkinkan bagi anak-anak untuk singgah, duduk-duduk dan meluangkan waktu sepulang sekolah untuk membaca buku. Semoga ada kemudahan untuk mewujudkannya..
















Dari wilayah Segaran, kurang lebih setengah jam kami menuju Pantai Pakis Jaya untuk santap siang disana. Perjalanan menuju pantai sangat indah, kiri dan kanan sawah hijau yang mulai menguning, benar-benar menyejukkan mata. Lalu tibalah kami di Pantai Pakis. Alhamdulillah pantainya cukup bersih. Banyak rumah makan di tepi pantai. Udara pantai yang bersih, dan ikan bakar yang “wangi” sangat mengundang selera makan. Tampak dikejauhan sekumpulan anak-anak bermain perahu di tepi laut.

Perjalanan pulang menikmati kembali pemandangan hijaunya sawah, namun kali ini ditambah pemandangan lain.. tampak sepanjang aliran sungai irigasi, para penduduk baik tua muda, anak-anak banyak yang menggunakan kali aliran irigasi sebagai sarana MCK. Apakah tidak ada penyuluhan untuk itu? Air sebagai sumber kehdiupan, mengapa harus tercemar? Sungguh menyedihkan melihat kenyataan ini.

MCK di saluran irigasi








Candi Jiwa













Menuju arah pulang, mampir dahulu ke Candi Jiwa, salah satu Situs Batujaya, yakni suatu kompleks sisa-sisa percandian Budha kuno. Terletak di dua kecamatan, yakni di Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya. Situs ini disebut percandian karena terdiri dari sekumpulan candi-candi yang tersebar di beberapa titik. Tidak jauh dari Candi Jiwa, ada Candi Blandongan, yang merupakan candi utama dari kompleks pecandian. Konon, jika sudah ada candi, sangat boleh jadi pada saat itu sudah terdapat kerajaan. Sebab untuk membangun candi dibutuhkan biaya yang tidak sedikit dan masyarakat yang terorganisir. jika asumsi para arkeolog bahwa candi ini berdiri pada tahun 3 Masehi, bisa dipastikan situs batujaya ini merupakan candi tertua yang pernah ditemukan di Indonesia.

Hari sudah semakin sore, hanya sempat mampir ke Candi Jiwa. Situs ini terletak di tengah-tengah daerah persawahan. Untuk kesana, kami menyusuri sawah.yang mulai menguning. Saat itu pemandangan sangat indah. Seakan-akan candi berada di hamparan karpet hijau kekuningan dengan bertaburan kilauan sinar matahari senja. Tak habis-habisnya mengagumi pemandangan indah ini. Subhanallah.. Subhanallah.

07.46

Bantuan Sosial

Bantuan apa yang bisa diberikan untuk Karawang?



Musim yang tidak pasti, cuaca yang tidak menentu menyulitkan petani untuk menentukan kapan waktu menanam benih. Ketika kemarau, sawah kesulitan air. Lalu ketika padi tumbuh subur dan mulai menguning terjadi banjir melanda sawah yang siap panen itu. Tidak terhitung biaya yang dikeluarkan, untuk membeli benih, untuk membeli pupuk, untuk membeli anti hama. keringat menetes.. panas terik.. semua hasil jerih payah itu hilang sekejap. Nasib yang paling menyedihkan adalah buruh tani.. mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan ketika banjir, merekapun tidak pernah menikmati beras pulen, karena beras yang diupayakan mereka hanya untuk orang-orang kota.

Bantuan untuk membeli benih atau pupuk atau anti hama sangat dibutuhkan oleh para petani. Harus ada upaya untuk meringankan beban mereka.

Banjir sudah berlalu, tapi bukan berarti musibah itu hilang begitu saja. Warga korban banjir yang tidak mampu tetap membutuhkan pakaian layak pakai. Anak-anak harus tetap sekolah. Baju seragam, alat-alat tulis sangat diperlukan oleh mereka.
Agar mereka tumbuh cerdas dan gemar membaca, dibutuhkan taman bacaan. Bantuan berupa buku-buku bacaan sangat diperlukan.

Warga sekitar saluran irigasi memanfaatkan air yang mengalir itu untuk MCK. Sangat tidak menyehatkan dan mengganggu lingkungan. Perlu ada penyuluhan tentang pentingnya air bersih dan pembangunan sarana MCK untuk mereka.

Mungkin kita tidak bisa membantu semua. Sebagian atau sedikit, itu lebih baik dari pada tidak membantu sama sekali.

Semoga dilimpahkan rizki untuk kita semua..


Jalan arah pulang dari Pantai Pakis menuju Rengasdengklok